TIME

Kamis, 26 Juni 2014

Tari Kipas Pakarena Sulawesi Selatan


1.      Filosofi Tarian Pakarena

Tari Pakarena berasal dari Kabupaten Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam bahasa Gowa ‘pakarena’ berasal dari kata ‘karena’ yang memiliki arti ‘main’ sedangkan imbuhan ’pa’ berarti ’pelakunya’. Tari pakarena sering ditarikan keluarga kerabat Kerajaan Gowa sebagai bentuk kecintaan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa Ke XVI) pada tarian ini.
Tari Pakarena Gantarang berkaitan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung merupakan bidadari yang turun dari langit untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa symbol – simbol berupa gerakan kemudian di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang.
Cerita yang berkembang di masyarakat Gowa bahwa tari pakarena berawal dari sebuah mitos yang menceritakan dua penghuni negeri yang berbeda yaitu boting langi (negeri kahyangan) dan penghuni lino (bumi). Diceritakan pada saat menunggu detik-detik perpisahan kedua negeri ini, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup mulai dari cara bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Akhirnya sebagai ungkapan syukur penhuni lino kepada penghuni boting langi, penghuni lino meramu setiap gerakan tersebut menjadi sebuah tarian yang dikenal dengan tari pakarena.
Tari Kipas Pakarena merupakan ekspresi kesenian masyarakat Gowa yang sering dipentaskan untuk mempromosi pariwisata Sulawesi Selatan. Dalam bahasa setempat, “pakarena” berasal dari kata “karena” yang memiliki arti “main”. Tarian ini sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan bekas Kerajaan Gowa.

2.      Hubungan Tarian Pakarena dengan sifat Suku Bugis

Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber dari rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dan segala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut menunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi oleh bunyi- bunyian yang merayu-rayu, untuk membujuk atau mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan manusia.
Bagi masyarakat Goa dan Makassar, tarian ini sudah menjadi bagian dari hidup dan cerminan ideologi. Tarian ini juga merupakan media penghubung antara mereka dengan Tuhan. Keindahan tarian pakarena patut dilestarikan dan dinikmati bukan karena nilai jualnya tapi karena nilai maknanya juga.
Pakarena adalah sebuah tarian ritus yang mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan dan bercerita tentang ritme kehidupan. Salah satu kesenian suku Makassar ini kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu atau upacara tradisional.

3.      Pakaian dan Atribut Tarian Pakarena

Ada beberapa jenis tari pakarena, antara lain royong dan bone balla. Pakarena jenis royong hanya ditampilkan saat upacara adat yang berdimensi ritual. Sedangkan pakarena jenis bone balla bisa ditampilkan kapan saja. Termasuk untuk menyambut tamu.
Penari pakarena terdiri dari tujuh wanita yang berpakaian adat. Dalam pakarena royong, setiap penari harus memanjatkan doa sebelum menari. Dalam doa itu mereka menyediakan sesajian berupa beras, kemeyan, dan lilin. Pada pakarena bone balla, aturan tidak terlalu ketat.
Kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar.
Pakaian  :
-          Baju Pahang (tenunan tangan)
-          Lipa Sa’ Be’ ( sarung sutra khas Makassar)
-          Perhiasan
-          Hiasan Sanggul
-          Kipas berukuran besar

4.      Analisis hubungan dan sifat , pakaian dan atribut

Perlengkapan  tarian pakarena menggunakan tombak, pedang, dan alat pelindung ibarat orang yang lagi menghadapi peperangan melawan musuh. Filosofi karakter yang terungkap dalam syair ini adalah motivasi yang tinggi dalam menjalani kehidupan yang disimbolkan dengan  leksikal baja dan besi; simbol kata “lelaki” yang tak gentar melawan badai di lautan dan tak gentar menghadap siapapun lawannya dalam menjalankan tugas dan kebenaran. Karakter ini terindikasi dalam penggunaan leksikal dalam syair-syair yang dilantunkan.
Tarian penghormatan  menggunakan  kipas sebagai simbolnya, sehingga biasa juga disebut Karena Pappakalakbirik panngadakkang. Konsep karakter yang diperoleh dari pesan ini adalah ketaatan, kepatuhan, disiplin, dengan  menganalogi kepatuhan kepada adat (aturan, norma) ibarat bangunan rumah yang kokoh di mana dinding, tiang, atapnya tak akan goyah sekalipun diterpa badai. Ketakutan melanggar aturan juga dideskripsikan dalam syair karena disertai kesadaran bahwa dengan ketaatan dan kepatuhanlah yang dapat membawa kebahagiaan hidup.
      Tarian percintaan menggunakan sapu tangan sebagai simbol pengikat janji, oleh karena itu tarian ini juga biasa dinamakan “Karena Passapu  Passicanringang”. Pesan dalam syair ini bahwa kehidupan itu silih berganti dan penuh dinamika,seperti ada sedih dan bahagia, kecewa dan senang, siang dan malam, yang juga dapat dirasakan dalam membina hubungan cinta kasih.  Karakter yang ingin dibangun dalam syair ini adalah perlunya menjaga nilai-nilai kemanusiaan seperti menjaga hubungan sekalipun ada perbedaan dan pertentangan, tetapi kita diharapkan dapat menciptakan harmonisasi  agar tercipta kebahagiaan. Kondisi ini diibaratkan dua insan laki-laki dan perempuan yang menjalin cinta di mana perbedaan sikap dan perilaku yang ada di antara mereka berusaha dipadukan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar