1.
Filosofi
Tarian Pakarena
Tari
Pakarena berasal dari Kabupaten Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam bahasa
Gowa ‘pakarena’ berasal dari kata ‘karena’ yang memiliki arti ‘main’ sedangkan
imbuhan ’pa’ berarti ’pelakunya’. Tari pakarena sering ditarikan keluarga
kerabat Kerajaan Gowa sebagai bentuk kecintaan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa Ke
XVI) pada tarian ini.
Tari
Pakarena Gantarang berkaitan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung merupakan
bidadari yang turun dari langit untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia
di bumi. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa symbol – simbol berupa gerakan
kemudian di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang.
Cerita yang
berkembang di masyarakat Gowa bahwa tari pakarena berawal dari sebuah mitos
yang menceritakan dua penghuni negeri yang berbeda yaitu boting langi (negeri
kahyangan) dan penghuni lino (bumi). Diceritakan pada saat menunggu detik-detik
perpisahan kedua negeri ini, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai
tata cara hidup mulai dari cara bercocok tanam, beternak hingga cara berburu
lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Akhirnya sebagai ungkapan syukur
penhuni lino kepada penghuni boting langi, penghuni lino meramu setiap gerakan
tersebut menjadi sebuah tarian yang dikenal dengan tari pakarena.
Tari Kipas
Pakarena merupakan ekspresi kesenian masyarakat Gowa yang sering dipentaskan
untuk mempromosi pariwisata Sulawesi Selatan. Dalam bahasa setempat, “pakarena”
berasal dari kata “karena” yang memiliki arti “main”. Tarian ini sudah menjadi
tradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan bekas Kerajaan Gowa.
2.
Hubungan
Tarian Pakarena dengan sifat Suku Bugis
Seni tari
yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber dari
rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dan
segala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada
dewa-dewa tersebut menunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah
gemulai, diiringi oleh bunyi- bunyian yang merayu-rayu, untuk membujuk atau
mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan manusia.
Bagi
masyarakat Goa dan Makassar, tarian ini sudah menjadi bagian dari hidup dan
cerminan ideologi. Tarian ini juga merupakan media penghubung antara mereka
dengan Tuhan. Keindahan tarian pakarena patut dilestarikan dan dinikmati bukan
karena nilai jualnya tapi karena nilai maknanya juga.
Pakarena
adalah sebuah tarian ritus yang mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan dan
bercerita tentang ritme kehidupan. Salah satu kesenian suku Makassar ini kerap
ditampilkan dalam acara penyambutan tamu atau upacara tradisional.
3.
Pakaian
dan Atribut Tarian Pakarena
Ada
beberapa jenis tari pakarena, antara lain royong dan bone balla. Pakarena jenis
royong hanya ditampilkan saat upacara adat yang berdimensi ritual. Sedangkan pakarena
jenis bone balla bisa ditampilkan kapan saja. Termasuk untuk menyambut tamu.
Penari
pakarena terdiri dari tujuh wanita yang berpakaian adat. Dalam pakarena royong,
setiap penari harus memanjatkan doa sebelum menari. Dalam doa itu mereka
menyediakan sesajian berupa beras, kemeyan, dan lilin. Pada pakarena bone
balla, aturan tidak terlalu ketat.
Kostum dari penarinya adalah,
baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan),
dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar.
Pakaian :
- Baju Pahang (tenunan tangan)
- Lipa Sa’ Be’ ( sarung sutra khas
Makassar)
- Perhiasan
- Hiasan Sanggul
- Kipas berukuran besar
4.
Analisis
hubungan dan sifat , pakaian dan atribut
Perlengkapan tarian pakarena menggunakan tombak, pedang,
dan alat pelindung ibarat orang yang lagi menghadapi peperangan melawan musuh.
Filosofi karakter yang terungkap dalam syair ini adalah motivasi yang tinggi
dalam menjalani kehidupan yang disimbolkan dengan leksikal baja dan besi; simbol kata “lelaki”
yang tak gentar melawan badai di lautan dan tak gentar menghadap siapapun
lawannya dalam menjalankan tugas dan kebenaran. Karakter ini terindikasi dalam
penggunaan leksikal dalam syair-syair yang dilantunkan.
Tarian
penghormatan menggunakan kipas sebagai simbolnya, sehingga biasa juga
disebut Karena Pappakalakbirik panngadakkang. Konsep karakter yang diperoleh
dari pesan ini adalah ketaatan, kepatuhan, disiplin, dengan menganalogi kepatuhan kepada adat (aturan,
norma) ibarat bangunan rumah yang kokoh di mana dinding, tiang, atapnya tak
akan goyah sekalipun diterpa badai. Ketakutan melanggar aturan juga
dideskripsikan dalam syair karena disertai kesadaran bahwa dengan ketaatan dan
kepatuhanlah yang dapat membawa kebahagiaan hidup.
Tarian percintaan menggunakan sapu tangan
sebagai simbol pengikat janji, oleh karena itu tarian ini juga biasa dinamakan
“Karena Passapu Passicanringang”. Pesan
dalam syair ini bahwa kehidupan itu silih berganti dan penuh dinamika,seperti ada
sedih dan bahagia, kecewa dan senang, siang dan malam, yang juga dapat
dirasakan dalam membina hubungan cinta kasih.
Karakter yang ingin dibangun dalam syair ini adalah perlunya menjaga
nilai-nilai kemanusiaan seperti menjaga hubungan sekalipun ada perbedaan dan
pertentangan, tetapi kita diharapkan dapat menciptakan harmonisasi agar tercipta kebahagiaan. Kondisi ini
diibaratkan dua insan laki-laki dan perempuan yang menjalin cinta di mana
perbedaan sikap dan perilaku yang ada di antara mereka berusaha dipadukan untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup.